![]() |
| Source : Pinterest.com/tourbanyuwangi |
Bab I Pendahuluan
Di ujung timur Pulau Jawa, terdapat sebuah komunitas adat yang tetap menjaga denyut kebudayaannya dengan tekun, meskipun zaman terus berubah. Mereka adalah Suku Osing Banyuwangi, masyarakat asli Blambangan yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Di tengah pesatnya modernisasi, Suku Osing tetap memelihara bahasa, adat, ritual, dan seni tradisi yang menjadikan mereka unik dibandingkan kelompok etnis Jawa lainnya.
Bagi sebagian orang, Banyuwangi dikenal sebagai destinasi wisata alam: pantai surfing kelas dunia, savana liar, hingga kawasan spiritual Alas Purwo. Namun, di balik gemerlap alamnya, Banyuwangi menyimpan satu kekayaan yang tak kalah indah: budaya Osing. Budaya ini tidak hanya berbentuk pertunjukan seni atau upacara adat, tetapi hidup dalam keseharian warganya—dari tutur bahasa di warung kopi kecil hingga ritual sakral di desa-desa adat.
Bab II Pembahasan
II.I Jejak Sejarah Suku Osing
Suku Osing merupakan keturunan langsung dari masyarakat Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang runtuh pada akhir abad ke-18 setelah serangkaian konflik melawan VOC dan kekuasaan Mataram. Setelah kehancuran Blambangan, sebagian besar masyarakat memilih bertahan di wilayah pedalaman Banyuwangi, menghindari tekanan politik dan asimilasi budaya.
Dari sinilah identitas Osing terbentuk. Mereka tidak sepenuhnya menyatu dengan budaya Jawa Mataraman, juga tidak larut mengikuti budaya Bali, meskipun secara geografis Banyuwangi berdekatan dengan Pulau Dewata. Osing membangun identitas sendiri—sebuah sintesis antara Hindu, kejawen, dan kemudian Islam, yang hidup berdampingan dalam satu tradisi.
Kini, pemukiman Osing tersebar di beberapa desa yang masih kuat memelihara adat, seperti:
- Desa Kemiren (pusat budaya Osing)
- Desa Olehsari
- Desa Glagah
- Desa Tamansuruh
Desa Kemiren bahkan ditetapkan sebagai desa adat sekaligus destinasi wisata budaya nasional.
II.II Bahasa Osing: Identitas yang Terjaga
Bahasa Osing merupakan simbol utama identitas mereka. Secara struktur mirip bahasa Jawa, namun memiliki kosakata, pengucapan, dan intonasi yang khas.
Contoh perbedaan:
- Aku → Isun
- Kamu → Riko
- Mau ke mana? → Rek bakal nang ndi?
Bahasa Osing digunakan dalam:
- Percakapan sehari-hari
- Upacara adat
- Pertunjukan seni tradisi
- Doa dan mantra lokal
Yang menarik, bahasa ini tidak diajarkan di sekolah formal secara penuh, melainkan diwariskan secara organik dalam keluarga. Anak-anak Osing tumbuh bilingual: bahasa Indonesia untuk pendidikan, bahasa Osing untuk kehidupan sosial.
II.III Sistem Nilai dan Kehidupan Sosial
Budaya Osing menjunjung tinggi kerukunan dan gotong royong, yang tercermin dalam konsep:
“Srawung lan rukun” — hidup menyatu dan saling menguatkan.
Kehidupan desa masih diwarnai kebiasaan sambatan (kerja bersama), gotong royong membangun rumah, membersihkan desa, hingga persiapan upacara adat. Tidak ada penghuni desa yang merasa “sendiri”. Ketika satu keluarga menggelar ritual atau hajatan, warga lain datang membantu tanpa diminta. Inilah bentuk solidaritas budaya yang terus bertahan hingga kini.
II.IV Ritual dan Tradisi Sakral
1. Tumpeng Sewu
Ritual tahunan terbesar di Desa Kemiren adalah Tumpeng Sewu. Ribuan tumpeng nasi dipajang berjajar sepanjang desa, menjadi simbol puncak rasa syukur masyarakat Osing kepada Tuhan dan leluhur.
Makna ritual:
- Syukur atas hasil panen
- Permohonan keselamatan desa
- Pembersihan spiritual kolektif
Setiap keluarga menyumbang satu tumpeng. Tidak ada kompetisi atau pamer kemewahan—yang penting adalah kebersamaan.
2. Seblang
Seblang merupakan tarian sakral yang digelar untuk menolak bala dan membersihkan desa dari energi buruk. Penari Seblang dipilih melalui proses adat yang dipercaya melibatkan “pilihan alam”. Saat menari, penari sering berada dalam kondisi setengah trance, diiringi gamelan khas Osing. Gerakan tarian dipercaya memiliki kekuatan spiritual—bukan sekadar estetika seni.
3. Barong Osing
Barong Osing berbeda dengan Barong Bali. Ia merepresentasikan roh penjaga desa dan dimainkan tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga ritual keselamatan. Barong berkeliling desa saat acara adat untuk mengusir mara bahaya.
II.V Gandrung Banyuwangi: Duta Budaya Osing
Ikon budaya Osing yang paling dikenal adalah Tari Gandrung Banyuwangi. Tarian ini muncul sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen dan penghormatan bagi Dewi Sri.
Keunikan Gandrung:
- Interaksi langsung dengan penonton
- Gerakan halus berpadu irama dinamis
- Busana penuh perhiasan dan ornamen
Kini, Gandrung tampil di panggung nasional dan internasional sebagai wajah Banyuwangi.
II.VI Arsitektur Rumah Adat Osing
Rumah Osing dibangun mengikuti filosofi kesederhanaan dan keterbukaan:
- Tikel Balung — rumah keluarga utama
- Cerocogan — bangunan kecil atau sayap rumah
Ciri-ciri:
- Teras terbuka luas
- Atap limasan sederhana
- Dinding bambu atau kayu
- Interior tanpa sekat berlebihan
Rumah dianggap sebagai tempat pertemuan sosial, bukan ruang privat tertutup.
II.VII Kuliner Khas Warisan Osing
Kuliner Osing identik dengan rasa kuat dan pedas:
- Sego Tempong — nasi, sambal mentah, sayur rebus
- Rujak Soto — perpaduan rujak sayur dan kuah soto
- Pecel Pitik — ayam bumbu kelapa parut khas upacara adat
- Cenchur — makanan ringan parutan kelapa dengan jagung muda
Kuliner ini bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari ritual dan acara adat.
II.VIII Spiritualitas dalam Kehidupan Osing
Meski mayoritas memeluk Islam, praktik spiritual Osing masih sarat unsur kejawen:
- Ziarah leluhur
- Tirakat (puasa & semedi)
- Bersih desa
- Doa kolektif alam
Mereka percaya bahwa manusia harus menjaga hubungan harmonis dengan:
- Tuhan
- Alam
- Leluhur
Filosofi utama:
“Urip kudu selaras karo alam” - Hidup harus selaras dengan alam.
II. IX Pengalaman Berkunjung ke Desa Osing
Mengunjungi Desa Kemiren ibarat memasuki masa lalu yang hidup. Suasana tenang, anak-anak bermain di halaman rumah adat, aroma dapur kayu menyeruak, dan bahasa Osing terdengar bersahut-sahutan. Warga menyambut tamu dengan keramahan tulus. Wisatawan tidak diperlakukan sebagai konsumen, melainkan tamu keluarga.
Beberapa pengalaman yang bisa dilakukan:
- Mengikuti latihan Gandrung
- Memasak Pecel Pitik bersama warga
- Menyaksikan ritual desa
- Menginap di homestay adat
II.X Tantangan Pelestarian Budaya
Modernisasi dan media sosial membawa tantangan:
- Migrasi generasi muda ke kota
- Komersialisasi tradisi
- Penyederhanaan ritual
Namun, masyarakat Osing aktif menjaga warisan melalui:
- Festival budaya tahunan
- Pendidikan seni di sanggar desa
- Pelibatan anak muda sebagai penari & pemusik
Upaya ini menjaga budaya Osing tetap hidup, bukan sekadar tontonan wisata.
Bab III Penutup
Suku Osing Banyuwangi adalah warisan hidup Nusantara—sebuah peradaban yang mengajarkan kesetiaan pada jati diri, penghormatan pada leluhur, dan keseimbangan hidup. Mengenal Osing bukan hanya mengenal budaya, tetapi menggali cermin nilai kehidupan yang kini makin langka.
Di tengah dunia yang semakin bising, budaya Osing mengingatkan kita:
Kadang, cahaya sejati justru terpelihara dalam kesederhanaan.

Posting Komentar