Suku Tengger : Kearifan Sang Penjaga Tanah Bromo Tengger Semeru


 Bab I Pendahuluan


    Kabut tipis perlahan turun menyelimuti lereng pegunungan. Di kejauhan, garis siluet Gunung Semeru berdiri tegak menjaga cakrawala, sementara aroma tanah basah berpadu dengan asap tungku dapur penduduk. Di tanah tinggi inilah hidup sebuah komunitas adat yang telah menjaga keseimbangan antara manusia dan alam selama ratusan tahun — Suku Tengger.
    Di kawasan Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Suku Tengger bukan sekadar masyarakat penghuni lereng gunung. Mereka adalah penjaga nilai, adat, dan filosofi hidup yang menempatkan harmoni sebagai napas utama kehidupan. Saat dunia luar bergerak cepat dan hiruk pikuk modernitas kian bising, Tengger tetap berdiri kukuh memelihara kesederhanaan serta penghormatan kepada alam.

Bab II Pembahasan


II.I Asal-Usul Suku Tengger

    Sejarah Suku Tengger erat berkaitan dengan masa runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Ketika perubahan politik dan agama melanda Jawa, sekelompok masyarakat Hindu Majapahit memilih mengungsi ke wilayah pegunungan Bromo dan Semeru untuk mempertahankan kepercayaan serta adat leluhur. Dari sanalah terbentuk komunitas yang kemudian dikenal sebagai Tengger. Nama “Tengger” diyakini berasal dari legenda Rara Anteng dan Joko Seger, pasangan leluhur yang menjadi simbol keteguhan (anteng) dan semangat (seger). Kisah ini diwariskan turun-temurun sebagai fondasi identitas masyarakat Tengger hingga saat ini. Pemukiman mereka tersebar di beberapa kabupaten, seperti Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang — semuanya mengelilingi kawasan taman nasional.


II.II Filosofi Hidup: Harmoni Tiga Alam

    Inti kehidupan Suku Tengger berpijak pada prinsip Tri Hita Karana: keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Mereka percaya bahwa segala bencana, penyakit, maupun konflik lahir dari terganggunya salah satu unsur keseimbangan tersebut. Karena itu, hidup tidak pernah dilepaskan dari nilai:
  • Rukun – menjaga keharmonisan sosial
  • Gotong royong – saling membantu tanpa pamrih
  • Sederhana – hidup secukupnya tanpa menimbun kekayaan
  • Hormat alam – tidak serakah terhadap hasil bumi
Pada orang Tengger, tidak ada konsep menguasai alam. Mereka hidup sebagai bagian dari alam, bukan penguasa atasnya.


II.III Kehidupan Sehari-hari di Lereng Semeru

    Mayoritas masyarakat Tengger bekerja sebagai petani dataran tinggi. Ladang kentang, wortel, kubis, dan daun bawang membentang di lereng-lereng bukit berteras rapi. Setiap hari, mereka bangun sebelum matahari terbit. Embun masih membasahi daun ketika petani memanggul alat tanam menuju ladang. Tidak ada alat berat atau industri pertanian masif — semuanya dilakukan secara manual dengan cara yang diwariskan turun-temurun.
    Perempuan Tengger berperan sama pentingnya dengan laki-laki. Mereka bekerja di ladang, mengatur rumah tangga, sekaligus menjaga tradisi keluarga. Anak-anak sejak kecil dibiasakan ikut serta bekerja, belajar menjaga tanah yang kelak akan menjadi penyangga hidup mereka.


II.IV Rumah Adat, Busana dan Bahasa Suku Tengger


Rumah tradisional Suku Tengger DOK. Shutterstock/priantopuji(Shutterstock/priantopuji)


Rumah masyarakat Tengger tergolong sederhana:
  • Dinding kayu atau bata
  • Atap genteng
  • Ruang dapur dengan tungku api
Di dalam rumah biasanya terdapat altar kecil berisi sesajen sebagai simbol rasa syukur terhadap Tuhan dan leluhur.

Sumber : Anak Suku Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur DOK. Shutterstock/Eva Afifah(Shutterstock/Eva Afifah)


Busana adat menjadi identitas kuat saat upacara adat berlangsung:
  • Pria Tengger mengenakan baju hitam, sarung, ikat kepala (udeng), dan selendang.
  • Perempuan Tengger menggunakan kebaya polos dengan kain dan selendang yang anggun.
  • Busana warna gelap melambangkan kesederhanaan, kesetaraan, serta kedekatan dengan alam.

Bahasa Tengger
    Bahasa Tengger merupakan variasi Bahasa Jawa kuno yang masih mempertahankan banyak kosakata era Majapahit. Cara bertutur mereka halus tanpa tingkatan bahasa yang rumit. Tidak dikenal konsep “kasar” atau “halus”, semua orang diposisikan setara. Bahasa ini bukan hanya alat komunikasi, tetapi wujud kesinambungan sejarah yang terus hidup di tengah arus zaman.


II.V Ritual Agung: Yadnya Kasada

    Ritual paling sakral masyarakat Tengger adalah Upacara Yadnya Kasada yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan purnama.
Dalam tradisi ini, masyarakat membawa berbagai persembahan:
  • Hasil bumi
  • Ternak kecil
  • Kain
  • Uang
  • Sesajen
    Semua persembahan tersebut kemudian dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai ungkapan syukur sekaligus penghormatan kepada Sang Hyang Widhi. Ritual ini berakar pada legenda pengorbanan putra bungsu Rara Anteng dan Joko Seger, Kesuma, yang mempersembahkan dirinya demi keselamatan masyarakat Tengger.
Yadnya Kasada adalah simbol nilai luhur:
  • Kerelaan berkorban
  • Keikhlasan memberi
  • Kesetiaan terhadap janji
  • Tengger dan Konservasi Alam
Suku Tengger dikenal sebagai penjaga kawasan pegunungan Bromo Tengger Semeru. Mereka mematuhi aturan adat:
  • Dilarang menebang hutan sembarangan
  • Wajib menjaga mata air
  • Mengelola ladang tanpa zat kimia berlebihan
  • Mengikuti kontur alam untuk mencegah erosi
Kepercayaan mereka sederhana: melukai alam berarti melukai diri sendiri.

Saat erupsi Semeru terjadi, masyarakat Tengger tidak menyalahkan alam. Mereka menganggap bencana sebagai pesan untuk kembali menghormati keseimbangan hidup.

II.VI Tradisi di Era Wisata

Pariwisata membawa perubahan besar di kawasan Bromo Tengger Semeru:
  • Homestay berkembang
  • Jeep wisata menjadi mata pencaharian baru
  • Banyak generasi muda terlibat sebagai pemandu
Namun modernisasi membawa tantangan serius:
  • Menurunnya minat generasi muda mempertahankan adat
  • Komersialisasi ritual
  • Perubahan pola hidup konsumtif
Para tetua adat terus menanamkan nilai kepada kaum muda bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan identitas.

Kearifan Tengger untuk Dunia Modern

Di dunia yang serba cepat, kearifan Tengger terasa seperti embun penenang:
  • Hidup bukan tentang mengejar lebih, tetapi merawat cukup.
  • Kekayaan sejati bukan materi, melainkan keharmonisan.
  • Alam bukan objek eksploitasi, tetapi mitra kehidupan.
Nilai-nilai ini amat relevan bagi manusia modern yang kerap terjebak dalam kelelahan emosional dan kegaduhan materialistik.

Refleksi 

Suku Tengger memberikan cahaya itu dengan caranya sendiri. Di lereng Semeru, kita belajar tentang arti sederhana menjadi manusia:

Hidup secukupnya, berbagi seikhlasnya, dan menjaga warisan alam sekuat tenaga.

Bab III Penutup


    Suku Tengger adalah penjaga lentera kearifan Nusantara di atas awan. Mereka mempertahankan harmoni ketika dunia kehilangan keseimbangan. Selama ladang-ladang di lereng Bromo masih digarap dengan penuh kesadaran, selama doa Kasada masih dilemparkan ke kawah sebagai simbol syukur, maka harapan akan hidup selaras dengan alam akan terus menyala. Di tanah Bromo Tengger Semeru, kearifan itu bukan cerita masa lalu — melainkan cahaya yang terus menerangi masa depan.

Posting Komentar


Padhang - Open Your Mind | Support by Liozano Official